Situs Megalitik Selodiri Terjan

Benda purbakala yang masih ada tersebar di belahan bumi Indonesia pada saat ini merupakan representasi dari bukti bahwa masyarakat itu sifatnya dinamis bukan statis. Masyarakat berubah perlahan menuju suatu tatanan yang mapan (lihat Saifuddin, 2006). Tahapan adaptasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk tahapan yang dikenal dengan istilah transformasi sosial masyarakat melalui tahap masyarakat berburu dan pengumpul, masyarakat holtikultura dan penggembali, masyarakat agratia, masyarakat industri, tahap pasca industri (informasi),  dan bioekonomi (lihat Henslin, 2006).

Purbakala yang ada dapat digunakan
untuk melacak seberapa sederhana dan komplekskah ilmu pengetahuan yang dimiliki saat masyarakat masa lalu.  Kepurbakalaan inilah yang kemudian dijadikan sebagai instrumen dalam mengenali dan menggunakan ilmu pengetahuan yang pernah berkembang dan digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup dikemudian nanti. Dengan mengenali dan menggunakan ilmu pengetahuan itu, identifikasi menuju masyarakat maju yang memiliki jatidiri unggul, sebagai simbol peradaban yang agung, segera terbangun.

Fungsi benda purbakala yang begitu penting itulah, Indonesia menerbitkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam UU itu menegaskan bahwa setiap pelaku perusakan benda cagar budaya akan dikenakan pidana penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar. Sanksi hukum yang berat bagi yang merusak benda cagar budaya itu bertujuan agar benda purbakala tidak difungsikan kecuali berfungsi sebagai bentang sejarah sosial budaya dan ilmu pengetahuan masyarakat Indonesia.

Namun kenyataannya, perusakan hingga penghilangan benda cagar budaya tidak terhindarkan. Terbukti kerap terjadi perusakan hingga penghilangan benda cagar budaya Indonesia. Fenomena perusakan benda cagar budaya itu juga terjadi pada kawasan Situs Megalitikikum Terjan di Bukit Selodiri.

Nama bukit Selodiri diambil dari adanya sebuah bukit yang diatasnya terdapat batu dengan berat sekitar 500 ton dan tinggi sekitar 50 meter, yang kemudian dinamakan “Selodiri“ atau yang artinya batu yang berdiri.  Situs inilah yang kemudian sering disebut dengan Situs Megalitik Selodiri Terjan atau disingkat SMST. 

SMST secara astronomis terletak pada koordinat 111 derajat 34'51'' Bujur Timur dan 6 derajat 41'2" Lintang Selatan. Sesuai dengan namanya, di objek tersebut terdapat batu-batuan zaman prasejarah berupa pintu gerbang, kepala binatang seperti kepala katak, kepala buaya, dan batu kepala ular.

Beberapa laporan perusakan dan penghilangan benda cagar budaya di Situs Megalitik Selodiri Terjan telah dikabarkan oleh beberapa media massa. Sebanyak 38 kursi batu peninggalan Megalitikikum di kawasan situs Terjan di Bukit Selodiri diketahui raib (H.U. Kompas dalam viosixwey.blogspot.com/2011/07/38-kursi-batu-Megalitikikum-raib.html), dua tumpak batu diketahui raib dari situs (H.U. Republika, 9 Desember 2011), empat arca kepala hewan sebagai mitos era Megalitikikum masing-masing kepala katak, naga, kuda dan buaya, rusak parah (H.U Suara Merdeka , 10 Desember 2011), arca mengalami kerusakan pada sebagian bentuknya (H.U Kompas, 14 Desember 2011), hingga arca kepala singa saja yang tersisa (H.U. Kompas, 14 Desember 2011) pada SMST ini. Berdasarkan data tentang perusakan dan penghilangan benda cagar budaya, tampaknya SMST tidak lagi berfungsi dalam membangun dan menuju pada suatu tatanan masyarakat yang mapan.

Dalam sumber dokumen lain melaporkan, batu selodiri yang berat sekitar 500 ton dan tinggi sekitar 50 m, digunakan sebagai tanda bagi nelayan. Apabila Selodiri masih kelihatan (pada waktu berangkat mencari ikan / melaut) berarti masih dekat dengan pantai. Namun kenyataannya, berdasarkan hasil observasi pada awal pekan bulan April tahun ini,  masyarakat sekitar situs bermatapencaharian petani dan buruh. Pada sekitar lokasi tersebut juga terdapat sumur yang dikeramatkan, yang dipercaya dapat mempermudah mendapatkan rejeki. Namun kenyataannya masyarakat sekitar situs tidak lagi mempercayai tentang sumur keramat itu. Memang terdapat sekelompok masyarakat jauh dari situs yang masih mengunjungi dengan tujuan mempermudah mendapatkan rejeki, namun itupun hanya sesekali dalam setahun.

Menurut Haris Sukendar (dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 27 Tahun 1981) melaporkan, patung kepala atau wajah pada SMST yang digambarkan dengan hidung panjang dan mata bulat yang kemudian disimpulkan sebagai pola hias wajah atau kedok yang berfungsi sebagai penolak bahaya. Namun pandangan tersebut diragukan oleh Gunadi Kaniwiharjo (kompasinana.com, 13 Januari 2012) dimana patung wajah itu bukan bermakna penolak bahaya. Gunadi Kaniwiharjo lebih memaknai pola hias wajah itu dekat dengan kesatuan dualisme antara manusia dan binatang yang mana sebagai jelmaan nenek moyang atau kepercayaan totemisme. Namun kenyataannya, kedua-duanya pendapat itu tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat sekitar SMST. Tidak satupun anggota masyarakat sekitar SMST yang menggunakan situs Megalitik ini untuk tolak balak, apalagi digunakan sebagai tempat sembahyangan.

Dalam http://www.youtube.com/watch?v=igJclJGGN0A mengabarkan, benda pubalaka Megalitik biasanya bertempat di daerah dataran tinggi yang digunakan untuk benteng bertahanan musuh. Namun kenyataannya masyarakat sekitar situs tidak dipergunakan sebagai benteng pertahanan musuh atau benteng pertahanan dari serangan musuh. Musuh mereka sekarang adalah kemiskinan. Tampak sekilas, kawasan SMST tidak memiliki daya tarik pertanian yang menjanjikan. Terbukti angkatan kerja usia produktif penduduk sekitar SMST, banyak memilih urbanisasi yang diyakini lebih menjanjikan.

Jika SMST masih memiliki aspek fungsi dalam membangun dan menuju pada suatu tatanan masyarakat yang mapan, jelas situs tersebut tidak akan dirusak atau dihilangkan. Dalam perspektif fungsional, Ritzer dan Goodman (2004:166) berpandangan bahwa fungsionalisme struktural menitikberatkan pada fungsionalisme kemasyarakatan dan pada perhatiannya yang berskala luas, yakni perhatian pada antarhubungan di tingkat kemasyarakatan dan pengaruh imperatif dari struktur dan institusi sosial terhadap aktor. Fungsionalisme struktural mengembangkan sederetan pemikiran pemikiran mengenai sistem sosial, subsistem, antarhubungan subsistem dan sistem, keseimbangan, dan perubahan yang teratur. Namun kenyataannya, SMST dalam keadaan rusak dan ada rekayasa menghilangkan benda pubakala tersebut.

SMST merupakan bagian dari sejarah masyarakat untuk dikenali. SMST sebagai representasi dari perjalan panjang masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang maju dan kompleks. Terlebih SMST memiliki muatan ilmu pengetahuan dalam menjawab masalah hidup sekaligus sebagai simbol jatidiri bangsa dalam berinteraksi di era global. Rekayasa penyelamatan Situs Megalitik Selodiri Terjan, sudah saatnya dilakukan.

Sumber Rujukan

Saifuddin, A.F. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Jakarta: Erlangga. Penerj. Kamanto Sunarto.
http://www.metrotvnews.com/metromain/news/2011/12/09/74858/Situs-Megalitikikum-Terjan-Dirusak

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Situs Megalitik Selodiri Terjan"

Posting Komentar